Pamekasan, – Asap dari sebatang rokok bisa jadi tak membahayakan siapa pun. Tapi bila asap itu berasal dari rokok ilegal tanpa pita cukai, seperti yang diproduksi merek GEBOY Flafour, maka yang dirugikan bukan hanya paru-paru masyarakat, melainkan juga keuangan negara.
Di sebuah sudut sunyi Desa Blumbungan, Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan, sebuah pabrik rumahan berjalan nyaris tanpa hambatan, nama perusahaannya PR Sekar Anom, pemiliknya disebut-sebut seorang pengusaha lokal berinisial H. Fahmi, meski produksi berlangsung hampir setiap hari, keberadaan usaha ini seperti tak terlihat mata aparat.
Tak ada papan nama, tak ada izin resmi. Tapi truk-truk kecil keluar-masuk area itu, membawa rokok yang kemudian beredar luas di pasar-pasar Madura, bahkan hingga ke Surabaya, Jakarta, dan luar Jawa.
Rokok-rokok itu beredar bebas tanpa pita cukai, melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, Pasal 54. Ancaman hukumnya jelas: penjara lima tahun dan/atau denda sepuluh kali lipat cukai, namun, hingga kini, tak ada razia. Tak ada penyegelan. Tak ada proses hukum.
“Kami sudah lama tahu soal pabrik itu. Tapi tidak pernah ada tindakan,” ujar seorang warga sekitar, Jumat (1/8).
Ketiadaan penindakan mengindikasikan satu hal: pembiaran, di tengah gencarnya pemerintah pusat menggenjot penerimaan dari sektor cukai, aparat di daerah justru terkesan menutup mata, bea Cukai setempat tak bergeming, satpol PP hanya menjalankan tugas seremonial. Pemerintah daerah diam.
Entah karena ketidaktahuan, keterbatasan sumber daya, atau karena faktor lain yang lebih gelap, publik hanya bisa menerka.
Menurut data Kementerian Keuangan, potensi kerugian negara dari rokok ilegal setiap tahunnya bisa mencapai triliunan rupiah, namun kasus-kasus seperti GEBOY Flafour memperlihatkan bagaimana celah hukum dan lemahnya pengawasan menjelma menjadi peluang bisnis gelap yang menggiurkan.
Yang paling disorot tentu soal ketimpangan penegakan hukum, pedagang kecil yang kedapatan menjual rokok tanpa cukai bisa segera digelandang, tapi usaha besar yang berjalan terang-terangan, malah tak tersentuh, dalam situasi ini, hukum seperti hanya berlaku untuk mereka yang tak punya koneksi.
Ketika hukum kehilangan daya gigit, para pelanggar semakin percaya diri, dan ketika institusi-institusi pengawas diam, rakyat patut bertanya: siapa sesungguhnya yang menikmati keuntungan dari bisnis ilegal ini?( atr)