Daerah

Gasi Tantang Kanwil Bea Cukai Jawa Timur I Tindak Tegas Mafia Rokok Ilegal Madura

71
×

Gasi Tantang Kanwil Bea Cukai Jawa Timur I Tindak Tegas Mafia Rokok Ilegal Madura

Sebarkan artikel ini

‎Sidoarjo, – Di ruang pertemuan sederhana di Kantor Kanwil Bea Cukai Jawa Timur I, Jl. Raya Bandara Juanda, Sidoarjo, Kamis, 14 Agustus 2025, suasana audiensi berlangsung panas. Perwakilan Gerakan Aktivis Sosial Indonesia (GASI) dari Sampang dan Pamekasan datang dengan satu misi: memaksa negara menindak tegas mafia rokok ilegal di Pulau Madura.

‎Bukan rahasia lagi, di kios-kios eceran dari ujung Sumenep, Pamekasan, Sampang hingga Bangkalan, rokok tanpa izin resmi dijual bebas. Merek Cahaya Pro, Geboy, SR, dan sejumlah merek lain, mudah ditemukan. Harganya miring, distribusinya rapi, dan anehnya, nyaris tak tersentuh razia.

‎Di forum itu, Kepala Seksi Intelijen Kanwil Bea Cukai Jatim I, Wideas pejabat baru dua bulan duduk di kursi itu mengakui fakta yang disodorkan GASI. “Cahaya Pro itu tidak legal. Pita cukai yang dipakai adalah SKT (Sigaret Kretek Tangan) milik rokok kretek, tapi dipasang pada jenis lain,” kata Wideas, tanpa berputar-putar. Ia berjanji akan mengirim tim ke Madura untuk memeriksa langsung.

‎Ketua GASI, Ahmad, menyambut baik janji tersebut, tapi suaranya sarat skeptisisme. “Kami tunggu buktinya. Kerugian negara akibat rokok ilegal ini nyata dan besar. Jangan hanya gempur di awal, lalu hilang,” tegasnya.

‎Irawan, perwakilan GASI Pamekasan, menambahkan nada perang. “Kami akan membantu Kanwil Bea Cukai. Kami punya data titik-titik pabrik rokok bodong itu. Tinggal datang, bongkar, tangkap,” ujarnya.

‎Namun, di balik optimisme itu, GASI melontarkan tuduhan yang lebih tajam: benteng pelindung para mafia rokok bukan cuma tembok pabrik, melainkan bekingan aparat berseragam. Oknum di kepolisian dan TNI disebut ikut menjaga kelangsungan produksi, memastikan rokok ilegal tetap meluncur mulus ke pasaran.

‎“Kalau tidak ada bekingan, pabrik-pabrik ini tidak akan seberani ini. Faktanya, mereka sudah bertahun-tahun beroperasi. Razia ada, tapi sifatnya formalitas. Yang ditangkap cuma sopir atau kuli angkut,” kata Ahmad, matanya menyipit.

‎Penelusuran lapangan GASI menunjukkan setidaknya ada puluhan pabrik rokok ilegal aktif di Madura, Pamekasan paling banyak. Produknya dikirim ke gudang-gudang penyimpanan di kecamatan-kecamatan strategis sebelum didistribusikan ke pengecer.

‎Skemanya terstruktur: dari pabrik, rokok dikemas dan dipasangi pita cukai salah peruntukan atau palsu. Truk-truk boks kecil lalu mengantar ke titik transit, biasanya rumah warga atau gudang tertutup, untuk menghindari deteksi. Dari sana, barang didistribusikan melalui jaringan pengecer yang sudah “dibersihkan” dari risiko razia.

‎Uang hasil penjualan rokok ilegal mengalir deras. Sebagian besar masuk ke kantong pemilik pabrik, sementara sebagian lagi menurut keterangan sumber internal yang enggan disebutkan namanya dialokasikan untuk “biaya keamanan”. Dana ini diduga disalurkan rutin ke oknum di kepolisian dan TNI yang bertugas di wilayah setempat. Besarannya bervariasi, mulai dari jutaan hingga puluhan juta rupiah per bulan, tergantung luas wilayah distribusi yang “diamankan”.

‎“Begitu ada operasi gabungan, telepon langsung berdering. Armada yang di jalan diminta berhenti dulu sampai aman. Itu SOP tidak tertulis di lapangan,” ujar seorang mantan sopir distribusi yang pernah bekerja untuk salah satu gembong di Pamekasan.

‎Kuatnya bekingan membuat upaya pemberantasan rokok ilegal seperti mengejar bayangan. Setiap kali ada penindakan, hanya level bawah yang jadi korban. Pemilik pabrik jarang tersentuh hukum. Bahkan, beberapa di antaranya dikenal akrab dengan figur politik lokal dan menjadi penyandang dana pada momen pemilihan kepala daerah atau legislatif.

‎Kondisi ini membuat GASI ragu janji gempur akan membuahkan hasil nyata. “Selama jaringan uang dan kekuasaan ini tak diputus, mafia rokok ilegal akan tetap hidup. Yang dirugikan bukan hanya negara, tapi juga petani tembakau legal yang kalah bersaing,” ujar Ahmad.

‎Di Madura, bisnis rokok ilegal bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga ekosistem yang terawat. Pita cukai palsu, pabrik tersembunyi, distribusi terkoordinasi, dan pelindung berseragam semua menyatu dalam jaringan yang kokoh.

‎Kini, publik menunggu: apakah langkah Bea Cukai Jatim I akan menjadi gebrakan yang meruntuhkan benteng itu, atau hanya babak baru dalam sandiwara panjang penegakan hukum di Pulau Garam.(atr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *