SUKABUMI – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Sukabumi menggelar sidang lanjutan perkara penyiraman air keras pada Senin (10 November 2025). Sidang dengan agenda pembacaan tuntutan (requisitoir) dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) ini menjadi salah satu momen krusial dalam proses hukum yang menyita perhatian publik.
Dalam sidang tersebut, JPU membacakan tuntutan berbeda terhadap dua terdakwa, Hari dan Yuri, yang memiliki peran berbeda dalam kasus penyiraman air keras yang menimpa korban Yuli. Berdasarkan hasil pemeriksaan dan fakta persidangan, JPU menilai bahwa peran Hari lebih dominan dan terencana dibandingkan Yuri.
Kuasa Hukum Korban, Dasep Rahman Hakim, menjelaskan seusai sidang bahwa JPU menuntut terdakwa Yuri dengan hukuman 2 tahun 10 bulan penjara dan denda Rp50 juta subsider 6 bulan kurungan. Sementara terhadap Hari, yang dianggap sebagai otak dari kejadian tersebut, JPU menuntut hukuman jauh lebih berat, yakni 8 tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider 6 bulan kurungan.
“Tuntutan jaksa sudah cukup proporsional jika dilihat dari peran dan tanggung jawab masing-masing terdakwa. Yuri hanya sebagai pelaku lapangan, sedangkan Hari adalah dalang di balik semua perencanaan,” ujar Dasep di luar ruang sidang.
Menurut Dasep, dari seluruh rangkaian fakta yang terungkap di persidangan, peran Hari sebagai penggagas dan perencana utama terbukti kuat. Ia yang menentukan target, cara pelaksanaan, hingga melibatkan Yuri untuk mengeksekusi rencana penyiraman air keras tersebut.
“Semua skenario berasal dari Hari. Ia yang menyusun langkah-langkah hingga akhirnya menyeret Yuri untuk melakukan penyiraman. Hal itu terbukti dalam keterangan saksi dan alat bukti yang diajukan di persidangan,” jelas Dasep.
Menanggapi pernyataan yang sempat beredar di media sosial dari pihak keluarga Yuri, Dasep juga meluruskan bahwa terdakwa dan keluarganya pernah menunjukkan itikad baik untuk meminta maaf. Saat proses penyidikan di Polresta Sukabumi, istri Yuri bersama penasihat hukumnya mendatangi keluarga korban untuk memohon maaf secara langsung atas perbuatan yang dilakukan suaminya.
“Keluarga korban menerima permohonan maaf itu secara moral, namun tetap menyerahkan seluruh proses penyelesaiannya kepada hukum. Ini bentuk penghormatan kepada proses peradilan yang sedang berjalan,” ungkap Dasep.
Korban penyiraman air keras, Yuli, turut hadir dalam persidangan dan menyampaikan penderitaan berat yang masih ia alami hingga kini. Dalam kesaksiannya, Yuli mengungkapkan bahwa akibat serangan tersebut ia mengalami luka bakar parah di bagian wajah, dada, paha, dan tangan, serta harus menjalani operasi berkali-kali.
“Saya mengalami cacat permanen dan sampai sekarang masih harus berobat. Anak saya pun ikut menjadi korban, menderita luka bakar di punggung dan kepala,” ujar Yuli dengan nada pilu.
Selain penderitaan fisik, Yuli juga menceritakan dampak ekonomi dan sosial yang menimpa dirinya. Ia kehilangan kemampuan untuk bekerja dalam waktu lama dan harus berjuang sendiri membesarkan anaknya dalam kondisi yang sangat terbatas.
“Saya kehilangan mata pencaharian, tidak bisa bekerja berbulan-bulan karena luka bakar. Hidup semakin berat sejak kejadian itu. Saya hanya berharap keadilan ditegakkan,” ucapnya dengan suara bergetar.
Dasep menegaskan, pihaknya menghormati seluruh proses hukum yang sedang berlangsung di PN Sukabumi. Ia berharap majelis hakim dapat mempertimbangkan seluruh fakta persidangan secara objektif agar vonis yang dijatuhkan benar-benar mencerminkan tingkat kesalahan masing-masing terdakwa.
“Sidang ini menjadi tolak ukur untuk menilai sejauh mana keterlibatan para terdakwa. Kami percaya majelis hakim akan memberikan putusan yang adil, sebanding dengan perbuatan mereka,” tegasnya.
Sidang pembacaan vonis terhadap dua terdakwa kasus penyiraman air keras yang menyita perhatian publik ini dijadwalkan berlangsung pada sidang berikutnya. Publik pun menantikan putusan majelis hakim yang diharapkan menjadi refleksi atas keadilan bagi korban dan pelajaran bagi masyarakat luas agar peristiwa serupa tidak terulang











