Journal News– Fenomena pernikahan anak kembali mengemuka, mencerminkan persoalan sosial yang serius di tengah masyarakat. Di Kampung Cikangkung, Desa Sukajadi, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Cianjur, seorang gadis di bawah umur, R (16), menikah dengan seorang pria dewasa, K (37). Pernikahan ini mengundang perhatian publik karena dilakukan tanpa memenuhi ketentuan negara, hanya berdasarkan panduan tokoh agama setempat.
Kasus ini memicu pertanyaan mendasar: Apakah pernikahan dini demi ‘keselamatan’ anak justru menjadi bumerang yang melanggar hukum dan hak asasi?
Ketakutan Orang Tua Berujung Pernikahan Anak
AA, ayah sambung R, mengaku pernikahan tersebut dilakukan karena kekhawatirannya terhadap pergaulan anaknya. “Kami menikahkan putri kami karena sering didatangi teman laki-lakinya. Kami khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, jadi memutuskan menikahkannya dengan panduan tokoh masyarakat,” ujarnya.
Pernikahan ini tidak melalui KUA dan hanya berlandaskan “kesepakatan suka sama suka” serta panduan tokoh agama, HMR, yang disebut sering menikahkan pasangan tanpa administrasi resmi.
Ketua RT dan Tokoh Agama Beri Pernyataan Berbeda
Ketua RT setempat membenarkan adanya pernikahan ini. Namun, ia mengaku tidak mengetahui usia R saat menghadiri acara tersebut. “Saya hanya datang sebagai undangan tanpa banyak bertanya,” katanya.
Sementara itu, HMR mengklaim pernikahan ini sah menurut agama. “Saya hanya membantu masyarakat yang kesulitan administrasi, selama ada wali, saksi, mas kawin, dan ijab kabul,” ungkapnya. Namun, HMR membantah menikahkan pasangan di bawah umur, meskipun dokumen dan foto pernikahan menunjukkan keterlibatannya.
Pelanggaran Hukum dan Dampaknya
Kepala Desa Sukajadi menyatakan pernikahan ini tidak tercatat secara resmi, yang dapat menyulitkan pasangan di masa depan. “Ini melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang mensyaratkan usia minimal pernikahan adalah 19 tahun untuk pria maupun wanita. Tanpa dokumen resmi, hak-hak mereka tidak akan diakui oleh negara,” tegasnya.
Dilema Agama dan Negara
Sekretaris Umum MUI Kabupaten Cianjur menegaskan bahwa pernikahan ini sah secara agama, tetapi tidak diakui secara hukum negara. “Ini adalah dilema yang harus diselesaikan dengan pendekatan edukasi dan penegakan aturan,” katanya.
Himbauan untuk Masyarakat
Kasus ini menjadi alarm bagi masyarakat untuk lebih memahami risiko pernikahan anak, baik secara kesehatan, emosional, maupun hukum. “Nikahkan putra-putri Anda sesuai ketentuan agama dan negara, agar maslahat dunia dan akhirat tercapai,” tambah Kepala Desa Sukajadi.
Laporan : ( Iqbal Tanjung )